Sabtu, 28 Januari 2023
Jumat, 27 Januari 2023
Kurikulum dan pembelajaran
Dalam kegiatan proses pembelajaran, kurikulum sangat dibutuhkan sebagai pedoman untuk menyususn target dalam proses belajar mengajar. Karena dengan adanya kurikulum maka akan memudahkan setiap pengajar dalam porses belajar mengajar, maka dengan itu perlu untuk diketahui apa arti dari kurikulum itu. Kurikulum adalah suatu usaha untuk menyampaikan asas- asas dan ciri-ciri yang penting dari suatu rencana dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan guru di sekolah. Istilah kurikulum banyak dijumpai dan digunakan hampir dalam setiap aktivitas pendidikan. Kurikulum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan itu sendiri khususnya pendidikan formal. Setiap pihak- pihak yang terlibat di dalam sistem pendidikan itu harus memahami dengan baik mengenai kurikulum dari sistem pendidikan itu.
Kurikulum menurut beberapa para ahli adalah sebagai berikut:
John Dewey (1902) kurikulum merupakan suatu rekonstruki berkelanjutan yang memaparkan pengalaman belajar anak didik melalui suatu susunan pengetahuan yang terorganisasikan dengan baik.
Franklin Bobbt (1918) kurikulum adalah susunan pengalaman belajar terarah yang digunakan oleh sekolah untuk mengembangkan kemampuan individual anak didik.
Harold Rugg (1827) kurikulum sebagai suatu rangkaian pengalaman yang memiliki
kemanfaatan maksimum bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuannya
untuk menyesuaikan dan menghadapi berbagai situasi kehidupan.
Hollins Caswell (1935) kurikulum adalah susunan pengalaman yang digunakan guru
sebagai proses dan prosedur untuk membimbing anak didik menuju kedewasaan.
Ralph Tyler (1857) kurikulum adalah seluruh pengalaman belajar yang direncanakan
dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikannya.
Hilda Taba (1962) kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat umum dan khusus dan materinya dipilih dan diorganisasikan berdasarkan suatu
pola tertentu untuk kepentingan belajar mengajar.
Robert Gagne (1967) kurikulum adalah suatu rangkaian unit materi belajar yang
disusun sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mempelajarinya berdasarkan
kemampuan awal yang dimiliki atau dikuasai sebelumnya.
James Popham dan Eva Baker (1970) kurikulum adalah hasil belajar yang direncanakan
dan merupakan tanggungjawab sekolah. Materi kurikulum mengacu pada tujuan
pengajaran yang diinginkan.
Michael Schiro (1978) kurikulum sebagai proses pengembangan anak didik yang
diharapkan terjadi dan digunakan dalam perencanaan.
Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) kurikulum sebagai suatu rencana yang berisi sub
kumpulan pengalaman belajar anak didik.
Glatthorn (1987) kurikulum paling tidak harus memiliki dua kriteria yaitu: Kurikulum
harus mencerminkan pengertian umum tentang peristilahan pendidikan sebagaimana sering digunakan oleh pendidik dan bermanfaat bagi guru dalam membuat perencanaan pengajaran yang baik.
Menurut buku tentang kurikulum dan pembelajaran yang ditulis oleh Ali Sudin bahwa kurikulum adalah sebagai rencana pelajran, pengalam belajar yang diperoleh siswa dari sekolah dan rencana belajar siswa.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran serta metode yang digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
Setelah menjelaskan pengertian kurikulum, berikut ini adalah pengertian belajar menurut beberapa ahli pendidikan dan psikologi (Hanafy 2014), yakni:
Belajar menurut B.F. Skinner adalah fasilitasi dan kesempatan, bersama dengan penguatan, bagi individu untuk menjadi lebih serius dan aktif dalam belajar mereka dengan penghargaan dan pujian dari guru untuk kinerja akademik mereka serta respons aktif (respons yang berkembang dan terjadi sebagai akibat dari rangsangan tertentu yang dapat ditanggapi oleh organisme).
Belajar menurut Robert M. Gagne adalah perubahan yang terjadi pada kemampuan seseorang setelah belajar sepanjang hayat yang disebabkan tidak hanya oleh proses pertumbuhan tetapi semata-mata oleh adanya stimulus yang bersamaan dengan proses belajar. Isi ingatan memengaruhi perubahan perilaku dari waktu ke waktu. Belajar sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu, faktor-faktor tersebut selalu berinteraksi untuk mencapai hasil belajar yang disebut keterampilan motorik (motor skills), tindakan), kemampuan intelektual, komunikasi verbal, strategi kognitif, dan sikap.
Belajar menurut Jean Piaget sebagai proses asimilasi dan penyesuaian hasil asosiasi dengan lingkungan dan pengamatan yang tidak sesuai antara informasi baru dan sebelumnya. Ada dua proses yang memengaruhi proses kognitif anak, yaitu proses asimilasi dan proses adaptasi. Asimilasi sebagai penyesuaian atau pencocokan informasi baru dengan informasi sebelumnya. Sebagai adaptasi menyusun dan merekonstruksi informasi lama dengan informasi baru untuk menghasilkan informasi yang lebih banyak dan lebih baik.
Belajar menurut Carl R. Rogers Memahami pembelajaran berdasarkan prinsip kebebasan dan perbedaan individu dalam pendidikan. Siswa akan lebih memahami satu sama lain dan dapat menerima apa yang diperlukan bagi mereka untuk secara bebas memilih dan bertindak sendiri dengan penuh tanggung jawab. Peran guru lebih penting daripada peran siswa dalam sebuah proses pembelajaran.
Belajar menurut Benjamin S Bloom adalah perubahan kualitas baik kognitif, emosional maupun psikologis dengan meningkatkan taraf hidup peserta didik, baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat sebagai makhluk Tuhan. Bloom mengamati bahwa kecerdasan anak-anak memiliki pengaruh. Anak-anak dapat menguasai tugas-tugas yang dihadapi di sekolah. Ada tiga taksa yang dikembangkan Bloom, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikologis. Kemampuan tersebut akan menjadi milik anak setelah ia belajar melalui proses pendidikan.
Belajar menurut Jerume S. Bruner merupakan pengembangan kategori yang saling berhubungan sehingga setiap individu memiliki model yang unik mengenai alam dan pengembangan suatu sistem pengkodean (coding). Belajar dapat berjalan jika sudah adanya perubahan kategori-kategori baik itu pengubahan maupun kategori baru. Sehingga pendekatannya sering dikenal dengan istilah kategorisasi dalam belajar.
Hakikat dari pembelajaran yakni adanya proses interaksi siswa dengan lingkungan yang dapat merubah tingkah laku yang lebih baik. Pembelajaran dilakukan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik agar mau belajar berdasarkan minat dan kebutuhannya. Pendidik juga berperan sebagai fasilitator yang mendukung peningkatan kemampuan belajar siswa (Arfani 2018). Pembelajaran berarti membelajarkan siswa, sehingga siswa mau belajar sehingga terjadi komunikasi dua arah antara siswa dan guru. Komunikasi/interaksi yang baik akan menghasilkan tujuan pembelajaran yang baik pula, begitupun sebaliknya. Walaupun hubungan kurikulum dan pembelajaran dipandang secara berebeda-beda, namun diantara mereka terdapat beberapa pernyataan yang banyak disepakati (kecuali bagi penganut model dualistik), yaitu Kurikulum dan pembelajaran merupakan sesuatu yang berhubungan namun berbeda, Hubungan kurikulum dan pembelajaran saling memberi kontribusi dan saling mempengaruhi, Kurikulum dan pembelajaran dapat dipelajari dan dianalisis secara terpisah namun tidak bisa berfungsi secara terpisah.
Tiga model kurikulum dalam pembelajaran Penjas
Model pembelajaran Personalized System for Instruction “PSI”
PSI merupakan disain yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan potensi dirinya melalui tugas gerak. Dalam model pembelajaran PSI, setiap siswa diberikan seperangkat instruksi yang harus dilaksanakan. Desain dasar dari PSI adalah menyediakan bagi setiap siswa seperangkat instruksi mengenai materi termasuk manajemen kelas, tugas presentasi, struktur tugas aktivitas belajar dengan criteria penampilan dan analisis kesalahan dan umpan balik.
The Personalized Sistem model (Hannon, Holt and Hatten, 2008) dirancang berdasarkan lima karakteristik utama: (a) memacu diri, (b) penguasaan pembelajaran, (c) guru bertindak sebagai motivator, (d) penekanan pada kata-kata tertulis untuk bahan studi, dan (e) pengawas siswa. PSI pada awalnya dikembangkan oleh Keller (1968) untuk digunakan dalam kelas psikologi kuliah pengantar setelah menentukan bahwa pendekatan kuliah tradisional tidak akan memenuhi kebutuhan nya hampir 300 siswa. Keller adalah seorang psikolog perilaku eksperimental yang percaya bahwa lingkungan yang lengkap (misalnya apa yang diajarkan dan bagaimana diajarkan) dampak pembelajaran manusia dengan atau tanpa peran langsung guru.
Tujuan Keller dalam desain PSI adalah untuk memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri sehingga guru bisa berinteraksi dengan siswa yang membutuhkan bantuan yang lebih (Metzler, 2005). Model PSI mengakui bahwa tidak semua siswa memiliki minat dan kemampuan yang sama. Hal ini memungkinkan siswa untuk kemajuan pada tingkat yang bertepatan dengan kemampuan masing-masing (Tousignant, 1983). Siswa dengan kemampuan lebih tinggi diperbolehkan untuk maju pada tingkat yang lebih cepat, sementara siswa lainnya mungkin memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan setiap kegiatan yang memadai.
Mengakui pentingnya penguatan dalam proses pembelajaran dalam rangka mempertahankan minat siswa dan motivasi. Keller dan Sherman (1974) menunjukkan bahwa PSI harus didasarkan pada empat fitur yang berbeda: 1) kemampuan untuk melihat kreatif dan menarik bahan belajar: 2) reguler, kemajuan nyata menuju tujuan saja: 3) penilaian langsung dari pembelajaran; dan 4) perhatian individu dari guru. Fitur-fitur ini memberikan penguatan tidak sering tersedia dalam model pembelajaran lainnya. Dengan fitur dan karakteristik dalam pikiran, desain unit PSI memerlukan kreatif, hati-hati, dan rinci perencanaan oleh guru.
Meskipun penelitian telah menunjukkan bahwa PSI dapat menjadi model pembelajaran yang efektif di banyak bidang studi (Lowry & Thomburg. 1988), deskripsi dari penggunaan PSI dalam pendidikan jasmani yang terbatas. Seidentop (1974) adalah orang pertama yang menyarankan penggunaan PSI untuk mengajar konten sebagian kognitif untuk siswa pendidikan jasmani. Kemudian, Cregger dan Metzler (1992) mengevaluasinya dalam permainaan bola voli tingkat awal. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa model ini dikaitkan dengan manajemen waktu yang rendah, waktu pembelajaran guru rendah, tingginya tingkat tanggapan tugas, tingginy tingkat keseluruhan dari perkembangan siswa dan kinerja, dan meningkatkan kepuasan siswa. Kesimpulan bahwa PSI adalah alternatif untuk gaya konvensional mengajar pendidikan jasmani. Kemudian mengembangkan serangkaian lengkap golf, tenis, badminton, dan unit PSI voli untuk digunakan pada tingkat program kegiatan perguruan tinggi. Seri ini kemudian diperluas untuk mencakup bulutangkis dan sepakbola (Metzler, 2000). Unit-unit ini dapat dengan mudah diadaptasi untuk digunakan di tingkat sekolah menengah dan atas. Tousignant (1983) dijelaskan penggunaan PSI untuk mengajar kursus tenis SMA. Dia mengakui bahwa sistem memiliki kelemahan karena kebutuhan untuk perencanaan yang matang oleh guru. Banyak siswa yang sudah terbiasa dengan instruksi langsung setiap hari dan akuntabilitas menunjukkan awal menggunakan PSI. Meskipun kelemahan ini, penulis merasa bahwa penggunaan sistem ini efektif. PSI tersedia lebih banyak waktu bagi para guru untuk menghabiskan waktu dengan masing-masing siswa, membantu mereka untuk meningkatkan kinerja.
Dalam proses pembelajaran PSI memiliki konsep dasar, siswa diberikan instruksi pembelajaran yang harus dilakukan dari guru, dan selanjutnya guru berperan untuk mengawasi yang dikerjakan oleh siswa. Kemajuan siswa dapat terlihat jika siswa tersebut mampu menyelesaikan tugas sebelumnya. Guru hanya perlu menyadari tugas mana yang telah diselesaikan dan menyediakan peralatan untuk melakukan tugas berikutnya. Fungsi dari persiapan seperti itu merupakan bagian dari manajemen kelas, tugas pembelajaran, dan evaluasi yang dapat diperoleh dari buku kerja dan media pembelajaran (typically videotapes). Dasar dari desain hasil pembelajaran PSI adalah memungkinkan siswa untuk belajar sendiri dan dalam waktu yang bersamaan guru ikut terlibat untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa. PSI telah menunjukan hasil yang efektif untuk pembelajaran psikomotor dan kognitif.
Pendidikan olahraga adalah sebuah model kurikulum yang dapat dikembangkan secara luas oleh sekolah untuk digunakan dalam berbagai bentuk aktivitas olahraga di seluruh komunitas. Kurikulum pendidikan olahraga di Australia dan Selandia Baru dikembangkan sebagai program yang terkoordinasi.Hal ini dimulai di pendidikan jasmani pra sekolah dan diperpanjang serta diperkuat di dalam klub dan komunitas olahraga, dengan program kurikulum untuk semua kelompok umur. "Olahraga untuk Semua" adalah konsep awal dengan program kegiatan bermain untuk anak-anak berusia tiga tahun dan dilanjutkan dengan berbagai variasi program untuk berbagai kelompok usia, termasuk olahraga bagi senior dan olahraga bagi orang tua.
Tujuan utama kurikulum pendidikan olahraga adalah untuk mendorong setiap individu untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan menjadi olahragawan yang baik disepanjang hidup mereka. Perspektif “olahraga untuk semua” didasarkan pada pengembangan progresif dari keterampilan olahraga melalui serangkaian permainan yang dimodifikasi. Dalam konsep ini, olahraga yang dimodifikasi digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan dari semua peserta, terutama bagi anak- anak (Robertson 1992).
Dalam program pendidikan olahraga yang efektif, guru sebagai pelatih berkomitmen untuk membuat pendidikan jasmani menyerupai olahraga yang sebenarnya. Mereka mendorong pemain untuk mengembangkan keterampilan, strategi, dan pemahaman aturan, penilaian, dan prosedur pencatatan rekor. Pemain yang terlibat dalam pilihan tim dan secara bertahap mengambil tanggung jawab untuk aspek manajerial dari pengalaman berkompetisi. Mereka belajar aturan dan bertanggung jawab untuk mengendalikan permainan, menjaga lembar statistik, dan melakukan latihannya sendiri. Struktur kompetitif direncanakan dengan baik sehingga adil dan berimbang. Setiap pemain memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan kesuksesan. Keberhasilan program mendorong siswa untuk berafiliasi; mereka adalah pengaruh kuat dalam mensosialisasikan siswa menjadi kelompok-kelompok yang bias bekerjasama. Anggota tim dicampur menurut etnis, jenis kelamin, dan kemampuan fisik serta belajar untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Siswa lebih tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga daripada di kelas Pendidikan jasmani dengan system Multiactivity (tradisional).
Program yang diajarkan menggunakan model pendidikan olahraga sangat bermanfaat bagi siswa yang keterampilannya kurang, yang biasanya tidak mau berpartisipasi dalam pembelajaran pendidikan jasmani (Grant dan Sharp 1992). Dalam program pendidikan olahraga, siswa yang kurang terampil ini menyatakan bahwa mereka merasa bagian yang penting didalam tim dan program ini. Mereka menyadari bahwa mereka bisa berhasil dalam permainan dimodifikasi dan mengakui bahwa tim membutuhkan mereka untuk bias sukses. Para pemain dengan keterampilan rendah dan menengah didorong oleh anggota tim yang terampil. Mereka diberi berbagai tugas tertentu, termasuk bermain diposisi tertentu, merumuskan strategi tim, mencetak gol, mewasiti, dan mencatat rekor. Mereka melaporkan bahwa sekarang memiliki tujuan untuk hadir dikelas, berpakaian, dan berpartisipasi. Sikap mereka semakin membaik, dan guru dapat fokus pada mengajar daripada meyakinkan para siswa untuk berpakaian dan berpartisipasi di kelas pendidikan jasmani.
Meskipun guru pendidikan jasmani kadang-kadang dikritik karena mengajarnya terlalu kompetitif, sifat kompetitif dalam pendidikan olahraga memiliki dampak positif pada tingkat keterlibatan siswa (Grant dan Sharp 1992). Siswa menjadi ingin terlibat dalam kegiatan dan termotivasi untuk tampil baik. Kompetisi memberi mereka alasan untuk berinteraksi dengan siswa lainnya. Siswa sendiri menjadi penilai untuk kompetisi yang adil dan seimbang. Kebanggaan mereka dalam kesuksesan ditunjukan dengan performanya disekolah dan komunitasnya. Program ini muncul untuk mendorong siswa untuk terlibat dalam kegiatan olahraga di masa depan berkenaan dengan gaya hidup sehat dan aktif.
Sport Education Model (SEM) menurut (Deenihan, McPhail and Young, 2011) adalah IM yang memberi siswa pengalaman olahraga yang positif dan otentik sambil mengembangkan siswa sebagai ''olahragawan yang kompeten, terpelajar, dan antusias'' (Siedentop, 1994). Siswa didorong untuk menjadi (a) kompeten karena mereka mampu memainkan permainan dengan tingkat keterampilan khusus olahraga dan kesadaran taktis yang diperlukan; (b) melek bahwa mereka mengakui dan menghargai aturan dan tradisi yang terkait dengan olahraga; dan (c) antusias karena ingin mengembangkan dan melestarikan budaya olahraga melalui partisipasi mereka.
SEM didefinisikan oleh enam karakteristik utama: (1) Olahraga diatur dalam musim yang umumnya lebih panjang dari unit olahraga tradisional yang diajarkan sebagai bagian dari program pendidikan jasmani. (2) Semua siswa adalah anggota tim dan tetap berada di tim tersebut selama musim pelajaran. (3) Musim olahraga ditentukan oleh latihan dan kompetisi formal dimana penekanan pada afiliasi dan kompetisi membuat musim olahraga lebih bermakna. (4) Musim olahraga biasanya diakhiri dengan acara puncak, yang memberikan tujuan bagi pemain untuk diusahakan sepanjang musim. (5) Rekor disimpan sepanjang musim dan memberikan umpan balik untuk individu dan tim. (6) Festivity didorong dan meningkatkan makna bagi peserta dan menambahkan elemen sosial yang penting untuk pengalaman (Siedentop, 1994).
Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya, atau jika pun melakukan permainan, permainan tersebut tidak sesuai dengan hakikat kemampuan anak serta kehilangan nilai-nilai keolahragaannya, dan yang lebih penting, tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga.
Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bahkan dalam kenyataannya pun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.
Movement Education
Movement education ini pada dasarnya merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada penguasaan keterampilan gerak. Model ini adalah model yang paling berpengaruh di sekolah dasar dan tergantung pada prioritas orientasi gurunya. Tiga nilai rujukan yang menjadi dasar model ini adalah Disciplinary mastery (mempelajari gerak), learning process (learning how to move), dan self-actualization (penekanan pada siswa - child centered). Model ini di US terjadi mulai awal tahun 1960-an yang didasarkan pada kerangka kerja Laban (1963), yaitu meliputi 4 aspek gerak sebagai berikut: body awarness (what the body does), effort (how the body moves), space (where the body moves), dan relationship (what relationship occur). Untuk selanjutnya tujuan dan aktivitas belajar dari masing-masing aspek gerak tersebut di buat dan biasanya menggunakan pendekatan: problem solving, guided discovery, dan exploratory.
Movement Education (ME) Menurut (Polsgrove, 2012) mempunyai tujuan dari tugas gerakan adalah untuk meningkatkan secara atletis, atau untuk mendapatkan kemudahan bergerak yang lebih besar selama aktivitas fisik sehari-hari, kita semua mengadopsi strategi untuk mengubah kinerja kita dengan harapan dapat membuat peningkatan yang signifikan. Biasanya, strategi perbaikan pertama kita terjadi melalui tekad yang kuat, seperti yang kita janjikan dengan sederhana melakukan lebih atau mencoba lebih keras. Gagasan ini bergema dalam pengetahuan pertunjukan umum, melalui homili seperti 'Tidak ada rasa sakit, tidak ada keuntungan'; 'Ketangguhan mental', 'Dorong melewatinya,' atau yang baru-baru ini terkenal dan dipasarkan
'Lakukan saja.' Memang, peningkatan kinerja akan dan memang terjadi karena modifikasi fisiologis yang dibuat sebagai hasil dari latihan yang lebih banyak dan usaha yang meningkat. Di bawah skenario inilah penggerak yang terampil sering kali menuai keuntungan paling banyak. Untuk penggerak yang kurang terkoordinasi, cedera, tidak berpengalaman, atau stagnan, latihan saja bisa bukan tentu membuat sempurna. Karena faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan, disfungsi fisik, koordinasi yang tidak memadai, atau harga diri yang buruk, individu yang tidak bergerak dengan baik seringkali harus mengandalkan gerakan yang kurang optimal untuk memenuhi tuntutan latihan dan pengulangan.
Dalam contoh pelempar softball yang kita kenal, kita mungkin berhubungan dengan rasa sakit yang terkait dengan gerakan berulang dan keinginan untuk berolahraga saat cedera. Seiring waktu, tindakan tersebut dapat mengakibatkan organisasi tubuh yang tidak optimal. Keadaan sistemik ini dapat diamati melalui nyeri kronis atau peningkatan ketidakseimbangan punggung atas dan bahu. Perawatan tradisional kemungkinan besar berfokus pada peningkatan fungsionalitas dengan memulihkan kekuatan dan rentang gerak bahunya. Pendekatan holistik bagaimanapun, akan mempertimbangkan tubuh sebagai sistem di mana area fungsi yang tidak optimal seperti perut, bahu dan paha belakang dapat diidentifikasi. Setelah area kinerja non optimal ini ditentukan, optimalisasi alat untuk reorganisasi menuju kinerja yang lebih optimal ditentukan. Bagi pelempar, pengikatan otot perut berfungsi sebagai aalat untuk meningkatkan keselarasan tulang belakang dan mendistribusikan ketegangan otot secara lebih merata. Optimalisasi terjadi saat nyeri bahu berkurang dan gerakan membutuhkan lebih sedikit usaha.
Menerima bahwa tubuh adalah suatu sistem memungkinkan pandangan holistik tentangnya. Sebuah model untuk pelatihan secara holistik adalah salah satu yang mempertimbangkan gerakan yang berhubungan dengan fisik maupun kognitif. Format pendidikan gerak, seperti yang ditawarkan oleh heuristik Pendekatan Holistik untuk Pendidikan Gerakan Perkembangan, mengakomodasi pandangan holistik dan memungkinkan interaksi tubuh dengan pikiran. Praktisi holistik yang memandang gerak sebagai sesuatu yang sistemik atau humanistik mampu memberikan instruksi untuk mengoptimalkan kinerja penggerak. Sebagai gerakan yang lebih optimal pola dikembangkan dan bergantung pada gerakan yang tidak optimal berkurang, tubuh mulai berfungsi lebih efisien dan efektif. Kritik terhadap model ini adalah: kurangnya dasar transfer of lerning, aktivitas fisik akibat penekanan pada mengajar konsep, dan penekanan pada skill olahraga, serta lebih menekankan pada pengembangan kemampuan gerak dasar.
Pengertian kurikulum dalam konteks pendidikan jasmani
Pengertian kurikulum
Pengertian kurikulum dapat dibagi menjadi dua paradigma yang berbeda, yaitu kurikulum dalam arti sempit dan kurikulum dalam arti yang luas. Kurikulum dalam arti sempit adalah kumpulan daftar pelajaran beserta rinciannya yang perlu dipelajari pebelajar untuk mencapai suatu tingkat tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan kurikulum dalam arti luas semua pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik. Pengalaman belajar tersebut dapat diperoleh di dalam kelas, laboratorium, mengikuti ceramah, bertanya jawab, demonstrasi dan dalam kegiatan lain seperti olahraga (Dwiyogo, 2010). Kurikulum merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar-mengajar (Sukmadinata, 2009). Selanjutnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 2006).
Dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Selain itu kurikulum adalah program pendidikan yang meliputi berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) yang sudah ada sejak ada sistem persekolahan (Soedijarto, Thamrin, Karyadi, Siskandar, & Sumiyati, 2010). Kurikulum pada dasarnya merupakan perencanaan danprogram jangka panjang tentang berbagai pengalaman belajar, model, tujuan, materi, metode, sumber, dan evaluasi (Depdiknas, 2003).Kurikulum merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan pendidikan (Winarno, 2012).
Kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman potensial (isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi di dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan (Arifin, 2013). Dalam suatu sistem pendidikan, Kurikulum ini sifatnya dinamis dan harus selalu dilakukan perubahan dan pengembangan dan tantangan zaman (Mulyasa, 2014).Dalam mewujudkan makna dari kurikulum maka perlu diketahui tentang komponen, peran, dan fungsi kurikulum tersebut.
Pengertian Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmanimerupakan bagian integral dari sistem pendidikansecara keseluruhan, yang memfokuskan pengembangan aspek kebugaran jasmani, ketrampilan gerak, ketrampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani (Depdiknas, 2003). Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengemukakan yang dimaksud dengan Pendidikan Jasmani adalah suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi.
Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari keseluruhan proses pendidikan, merupakan usaha yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja manusia melalui media kegiatan fisik yang telah dipilih dengan tujuan untuk mewujudkan hasilnya (Bucher, 1983). Pendidikan jasmani memberikan kesempatan anak untuk mempelajari berbagai kegiatan yang membina sekaligus mengembangkan potensi anak, dalam aspek fisik, mental sosial, emosional dan moral (Paturusi, 2012). Kemudian, Pendidikan jasmani merupakan tahap proses pendidikan total, membantu dalam mewujudkan tujuan dari pendidikan (Urs, 2011). Pendidikan jasmani juga merupakan suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan, dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi (Kanca, 2017). Lalu, Pendidikan jasmani dan kesehatan adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik dan kesehatan untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional (Rosdiani, 2013).
Pendidikan jasmani adalah satu-satunya mata pelajaran di sekolah di mana anak- anak memiliki kesempatan untuk belajar keterampilan motorik dan mendapatkan pengetahuan untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas fisik (Le Masurier & Corbin, 2006). Pendidikan jasmani juga berkaitan dengan erat dengan pendidikan olahragasebab berhasil mensimulasikan komunitas yang ada dari olahraga, terhadap lingkungan belajar, mencakup dimensi elit, sportif, eksklusif, danindividualistis (Alexander & Luckman, 2001). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan untuk mengembangkan kemampuan melalui gerak sehingga dapat mencapai kesehatan serta tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap.